Friday, October 2, 2015

Agama-Agama Harus Selalu Merespon Setiap Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi



Prof. Syafa’atun Almirzanah, Ph.D., D. Min. mengatakan, keberhasilan rekayasa genetika melalui teknologi cloning oleh Ian Wilmut terhadap Domba yang kemudian diberi nama Dolly, itu berarti terobosan dalam dunia kedokteran terjadi. Terobosan cloning Domba bernama Dolly ini membawa kemungkinan terhadap penelitian stem cell, yang pada tahun 2001 berhasil menciptakan embryo pertama manusia melalui teknologi cloning. Keberhasilan perusahaan swasta, Advanced Cell Technologies dalam mengcloning embryo manusia yang tidak menghasilkan bayi, tetapi hanya untuk kepentingan therapeutic bidang kedokteran ini ini menyisakan kontroversi dan kegelisahan para pemimpin dunia dan para pemimpin agama-agama. Ada yang merespon positis, ada yang melarang. Dalam kongres di Amerika misalnya terbit peraturan yang melarang nonreproductive cloning. Parleman Amerika tegas melarang, tetapi mayoritas senator mengijinkan. Sementara Presiden Amerika, George W. Bush kala itu, tegas melarang terutama berkaitan dengan dana penelitian. Sementara di kalangan agamawan, misalnya, keberhasilan ini ditentang kaum Yahudi dan kebanyakan penganut kristiani di seantero dunia. Mensikapi hal ini, Prof. Syafa’atun Almirzanah mengatakan, agama-agama hendaknya selalu merespon dan memberi arahan terhadap setiap perkembangan ilmu pengetahuan dan ternologi seperti teknologi cloning. Kerena campur tangan agama-agama akan membuat setiap penemuan baru ilmu pengetahuan dan teknologi akan dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia, bukan untuk kesombongan, sekedar melakukan karena memungkinkan diciptakannya, dan bisa jadi penciptaaanya justru akan menghancurkan eksistensi manusia dan alam ini.
Hal tersebut disampaikan Syafa’atun dalam orasi ilmiahnya, saat dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang “Studi Agama-Agama” UIN Sunan Kalijaga, di Gedung Multipurpose, Selasa, 29 September 2015. Orasi ilmiah Prof. Syafa’atun ini menjadi puncak acara mensyukuri kelahiran UIN Sunan Kalijaga yang ke 64 tahun, setelah kampus putih ini menggelar berbagai agenda acara. Prof. Syafa’atun merupakan Guru Besar ke 60 UIN Sunan Kalijaga, dan Guru besar ke 34 UIN Sunan Kalijaga yang masih aktif. Dalam orasinya, lebih lanjut Prof. Syafa’atun memaparkan, semua agama yang mengajarkan spiritualitas, telah memberikan penjelasan yang komprehensif dan luar biasa mengenai kepercayaan dan pengalaman spiritual yang dapat meningkatkan perubahan di dalam otak kita dan dapat menghasilkan kesehatan serta hidup lebih baik. Oleh karenanya science dan agama dapat berhubungan lebih dekat, saling menyapa, untuk menghasilkan kualitas kehidupan di bumi ini semakin baik., membawa kebahagiaan dan kedamaian bagi umat manusia.
Menurut Syafa’atun para ilmuwan memang punya kebebasan, kewajiban dan tanggungjawab untuk terus melakukan riset yang menghasilkan sesuatu menjadi semakin sempurna. Sebagai manusia, ilmuwan adalah partner Tuhan yang harus terlibat dalam penemuan ilmu pengetahuan dan penciptaan teknologi, untuk membuat bumi ini semakin sempurna. Namun di sisi lain, para Nabi utusan Tuhan dari semua agama punya posisi lebih tinggi dari para ilmuwan. Kaum agamawan, sebagai wakil para Nabi era kini, hendaknya aktif dan kreatif melakukan interaksi terhadap setiap perkembangan dunia yang dahsyat ini. Ini adalah essensi dari iman, kata Syafa’atun.
Sementara, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya untuk tujuan kemudahan bidang kesehatan, hendaknya juga tetap berpijak pada pertimbangan etik, moral dan nilai-nilai agama. Misalnya, pertimbangan, masih pantaskan mengeluarkan dana sangat besar untuk membiayai riset terapi medis baru, sementara di sekeliling kita masih banyak orang kelaparan yang membutuhkan uluran tangan untuk menolong mereka. Kita memang menghargai keinginan untuk mencapai dan mempertahankan derajad kesehatan yang terbaik. Akan tetapi usaha ini harus dicapai dengan cara-cara yang etis, bermoral dan sesuai dengan nilai-nilai agama. Kontroversi-kontroversi seperti ini membutuhkan uluran tangan kaum agamawan agar dicapai keseimbangan tujuan dari setiap penemuan ilmu pengetahuan dan penciptaan teknologi, kata Prof. Syafa’atun.
Di akhir pidatonya, Prof. Syafa’atun manyampaikan, hidup berbagi menjadi pelajaran berharga bagi dirinya. Menurutnya, dengan selalu hidup berbagi akan menjadikan kehidupan ini semakin membahagikan.
Sementara Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. H. Machasin, dalam sambutannya antara lain menyampaikan, kilas balik berdirinya IAIN Sunan Kalijaga, yang kini telah menjadi UIN Sunan Kalijaga. UIN Sunan Kalijaga dimulai dari diresmikannya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) 26 September 1951, berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 34 Tahun 1950. Secara operasional penyelenggaraan PTAIN diatur dalam peraturan bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan RI tanggal 21 Oktober 1951. Berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 11 Tahun 1960, tanggal 9 Mei 1960, PTAIN berubah menjadi IAIN. Dan Berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 26 Tahun Tahun 1965, IAIN di Yogyakarta ini diberi nama IAIN Sunan Kalijaga. Salah seorang Wali Sanga, penyebar agama Islam di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. 2004, IAIN Sunan Kalijaga bertranformasi menjadi UIN Sunan Kalijaga berdasarkan Keppres Nomor 50 Tahun 2004, tanggal 21 Juni 2004.
Peringatan dies Natalis ke 64 tahun ini, dapat dijadikan momentum untuk bersyukur, sekaligus merefleksi. Bersyukur karena umat Islam di Indonesia yang terbesar ini diberi anugerah oleh Allah SWT berupa lembaga pendidikan tinggi Islam tersendiri, yang sudah lama dipikirkan oleh founding fathers Republik ini jauh sebelum Indonesia merdeka. Lembaga pendidikan tinggi Islam yang sejak berdirinya hingga sekarang terus berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melakukan fungsinya transfer ilmu-ilmu keislaman, memelihara tradisi Islam dan melahirkan ulama. Basic philosophi ini pulalah yang menjadi dasar proses transformasi IAIN Sunan Kalijaga menjadi UIN, dalam rangka mengembangkan paradigma integrasi-interkoneksi antara ilmu-ilmu keislaman, ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman demi memberikan kontribusi yang lebih berarti bagi kemajuan dan kejayaan peradaban manusia.
Menurut Machasin, mensyukuri kelahiran UIN Sunan Kalijaga ke 64 tahun ini, penting untuk mengenang peran dan jasa para pemimpin institusi ini sejak berdiri. Dari era kepemimpinan Rektor I, Moh. Adnan, disusul Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya, Prof. R.H.A. Soenarjo, SH., Kol. Drs. H. Bakri Syahid, Prof. Drs. H. Mu’in Umar, Prof. Dr. H. Simuh, Prof. Dr. H. M. Atho’ Mudzhar, Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah, Prof. Dr. H. Musa Asy’arie, Prof. Drs. H. Akh. Minhaji, Ph.D., yang karena masalah kesehatan tidak dapat melanjutkan tugas hingga akhir periode, dan sejak tanggal 8 September 2015, Menteri Agama RI telah memberikan amanat kepada kami (Prof. Machasin-red) untuk melaksanakan tugas jabatan sebagai pengganti sementara. Kita patut menyapaikan penghormatan dan penghargaan yang tinggi kepada tokoh-tokoh perintis, pendiri dan pengembang institusi pendidikan tinggi Islam tertua di negeri ini, yakni UIN Sunan Kalijaga, Kata Machasin.
Ke depan, harus disadari, tugas dan tantangan untuk mengembangkan UIN Sunan Kalijaga semakin berat. Mengingat kompetisi antar perguruan tinggi yang semakin tajam dan tantangan lingkungan eksternal yang semakin kompleks.. Dalam jangka panjang, kebijakan, strategi, program dan kegiatan akan diarahkan pada terwujudnya Perguruan Tinggi Taraf Dunia. Seluruh Perguruan Tinggi di tanah air, termasuk di dalamnya UIN, IAIN, dan STAIN berada pada gelombang dan frekwensi yang sama dalam semangat mewujudkan dirinya sebagai World Class University, tegas Machasin. (Weni Hidayati-Humas UIN Sunan Kalijaga).